21 April 1879 merupakan tanggal yang
bersejarah, ditanggal tersebut lahir seorang bayi yang telah menjadi inspirator
bagi perempuan sekarang untuk terus maju berjuang. Ya, ditanggal tersebut
terlahir dari dari rahim M.A. Ngasirah seorang anak perempuan dengan nama Kartini.
Dan singkat cerita akhirnya pada tanggal 2 Mei 1964 dengan Surat Keputusan
Presiden Republik Indonesia nomor 108 menganugerahi Kartini gelar Pahlawan
Kemerdekaan Nasional. Serta menjadikan tanggal 21 April sebagai hari Kartini.
R.A. Kartini dianugerahi gelar tersebut
bukan karena sebab. Menurut referensi yang saya baca hal tersebut dikarenakan
atas pemikirannya yang luar biasa. Yakni atas pemikirannya mengenai ketertindasan
yang dialami kaum perempuan pada jaman dahulu dari berbagai aspek.. Ia banyak
menyampaikan pemikiran tersebut dengan saling mengirim surat dengan
teman-temannya yang berrasal dari Belanda.
Dalam postingan kali ini, saya akan
sedikit menyulik beberapa penggal surat Kartini yang saya ambil dari situs
kompasiana.com, dengan url lengkap dibawah ini :
http://sosok.kompasiana.com/2012/04/20/mengenal-dan-memahami-pemikiran-ibu-kita-kartini-melalui-tulisan-tulisannya-456880.html
Berikut ini beberapa penggalan surat R.A.
Kartini dalam buku Door Duisternis Tot Licht (DDTL) atau dalam terjemahan
bahasa Indonesianya Habis Gelap terbitlah Terang :
“… dan kami yakin seyakin-yakinnya bahwa air
mata kami, yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu akan ikut menumbuhkan benih
yang akan mekar menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan generasi-generasi
mendatang.” (Surat R.A. Kartini kepada Ny. Abendanon 15 Juli 1902-DDTL, hal.
214)
“… andaikata aku jatuh di tengah-tengah
perjalananku, aku akan mati bahagia, sebab bagaimanapun jalannya telah terbuka,
dan aku telah ikut membantu membuka jalan itu yang menuju kepada kemerdekaan
dan kebebasan Wanita Jawa (*baca: wanita Indonesia)” - DDTL halaman
81
“Aku
masih melihat senyumnya yang membuat raut mukanya bercahaya ketika ia berkata:
“Ah, ibu, aku mau hidup 100 tahun. Hidup ini terlalu pendek. Pekerjaan banyak
sekali menunggu. Dan sekarang aku bahkan belum boleh memulai.” (R.A. Kartini
kepada Nyonya Marie Ovink-Soer, yang sudah dianggap ibu oleh Kartini,
sebagaimana ditulis Nyonya Marie dalam bukunya: Persoonlijke Herinnering aan
R.A. Kartini)
“Teman-teman
saya di sini mengatakan agar sebaiknya kami tidur saja barang 100 tahun. Kalau
kami bangun nanti, kami baru akan tiba pada jaman yang baik. Jawa (*baca:
Indonesia) pada saat itu sudah begitu majunya kami temukan, seperti apa yang
selalu kami inginkan.” (Surat R.A. Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 6 November 1899)
Tentang Kartini setelah dipingit
“Gadis
itu kini telah berusia 12,5 tahun. Waktu telah tiba baginya untuk mengucap
selamat tinggal pada masa kanak-kanak. Dan meninggalkan bangku sekolah, tempat
dimana ia ingin terus tinggal. Meninggalkan sahabat-sahabat Eropah-nya, di
tengah mana ia selalu ingin terus berada.
Ia
tahu, sangat tahu bahkan, pintu sekolah yang memberinya kesenangan yang tak
berkeputusan telah tertutup baginya. Berpisah dengan gurunya yang telah
mengucap kata perpisahan yang begitu manis. Berpisah dengan teman-teman yang
menjabat tangannya erat-erat dengan air mata berlinangan.
Dengan
menangis-nangis ia memohon kepada ayahnya agar diijinkan untuk turut bersama
abang-abangnya meneruskan sekolah ke HBS di Semarang. Ia berjanji akan belajar
sekuat tenaga agar tidak mengecewakan orang tuanya. Ia berlutut dan menatap
wajah ayahnya. Dengan berdebar-debar ia menanti jawab ayahnya yang kemudian
dengan penuh kasih sayang membelai rambutnya yang hitam.
‘Tidak!’ jawab
ayahnya lirih dan tegas.
Ia terperanjat.
Ia tahu apa arti ‘tidak’ dari ayahnya.
Ia berlari. Ia
bersembunyi di kolong tempat tidur. Ia hanya ingin sendiri dengan kesedihannya.
Dan menangis
tak berkeputusan.
Telah berlalu!
Semuanya telah berlalu! Pintu sekolah telah tertutup di belakangnya dan rumah
ayah menerimanya dengan penuh kasih sayang. Rumah itu besar. Halamannya pun
luas sekali. Tetapi begitu tebal dan tinggi tembok yang mengelilinginya.”
Tentang Kartini
menyuarakan nuraninya yang merujit terhimpit kungkungan tembok pingitan
“Sahabat-sahabat
ayah yang berbangsa Eropah - ini saya ketahui lama kemudian - telah dengan
susah payah mencoba mempengaruhi orang tuaku agar mengubah keputusannya untuk
memingit aku yang begitu muda dan begitu penuh gairah hidup ini. Tapi orang
tuaku tetap teguh dengan keputusannya. Dan aku tetap dalam kurunganku. Empat
tahun yang panjang telah kutempuh dalam kungkungan empat tembok yang tebal
tanpa sedikit pun melihat dunia luar. Bagaimana aku dapat melaluinya, aku tak tahu lagi. Aku hanya tahu
bahwa itu MENGERIKAN.”
“Ketahuilah
bahwa adat negeri kami melarang keras gadis2 keluar rumah. Ketika saya berusia
12 tahun lalu saya ditahan di rumah; saya mesti masuk tutupan, saya dikurung di
dalam rumah seorang diri sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada
boleh keluar ke dunia itu lagi bila tiada serta dengan seorang suami, seorang
laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk
kami, dikawinkan dengan kami, sebenarnya tiada setahu kami.” (Surat Kartini kepada Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
“Jalan
kehidupan gadis Jawa itu sudah dibatasi dan diatur menurut pola tertentu. Kami
tidak boleh mempunyai cita-cita. Satu-satunya impian yang boleh kami kandung
ialah, hari ini atau besok dijadikan istri yang kesekian dari seorang pria.
Saya tantang siapa yang dapat membantah ini. Dalam masyarakat Jawa persetujuan
pihak wanita tidak perlu. Ia juga tidak perlu hadir pada upacara akad nikah.
Ayahku misalnya bisa saja hari ini memberi tahu padaku: Kau sudah kawin dengan
si anu. Lalu aku harus ikut saja dengan suamiku. Atau aku juga bisa menolak,
tetapi itu malahan memberi hak kepada suamiku untuk mengikat aku seumur hidup
tanpa sesuatu kewajiban lagi terhadap aku. Aku akan tetap istrinya, juga jika
aku tidak mau ikut. Jika ia tidak mau menceraikan aku, aku terikat kepadanya
seumur hidup. Sedang ia sendiri bebas untuk berbuat apa saja terhadap aku. Ia
boleh mengambil beberapa istri lagi jika ia mau tanpa menanyakan pendapatku.
Dapatkah keadaan seperti ini dipertahankan, Stella?”
(surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 6 November 1899)
(surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 6 November 1899)
“Mengapa
kami ditindas? Itu membuat kami memberontak. Mengapa kami harus mundur? Mengapa
sayap kami harus dipotong? Tak lain karena tuduhan dan fitnah orang-orang
kerdil yang berpandangan picik. Untuk memuaskan orang-orang macam itulah kami
harus melepaskan cita-cita kami. Andaikan betul-betul perlu, benar-benar tidak
dapat dielakkan, kami akan tunduk. Namun kenyataannya tidak demikian.
Segala-galanya berkisar pada pendapat umum. Semua harus dikorbankan untuk itu.
Dikatakan: Orang akan bilang ini atau bilang itu, kalau kami lakukan apa yang
kami lakukan dengan seluruh jiwa kami. Dan siapakah orang-orang itu? Dan untuk
orang-orang macam itu kami harus menekan keinginan kami, harus membunuh cita-cita
kami, dan mundur kembali ke alam gelap.” (Kartini, 1901)
“Lalu
akan saya robohkan rintangan-rintangan yang dengan bodoh telah dibangun untuk
memisahkan kedua jenis. Saya yakin, kalau ini sudah terlaksana, akan banyak
manfaatnya, terutama untuk pria. Saya tidak percaya bahwa pria yang
berpendidikan dan mempunyai sopan santun akan sengaja menghindari pergaulan
dengan wanita-wanita yang berpendidikan dan berpandangan setaraf dengan
mereka…”
Tentang Ibu
Pertiwi
“Dalam
kebudayaan kita sering disebut-sebut Ibu Pertiwi. Bagi saya Ibu Pertiwi
bukanlah suatu dewi. Tetapi apabila kita hendak melambangkan sumber kekuatan
dari perlambang itu, marilah kita memandang sumber-sumber yang nyata, yang
kongkrit, dalam diri beratus-ratus, beribu-ribu ibu, yang dengan penuh
ketekunan mengasuh, menjaga, dan memungkinkan kita memberikan darma bakti
kepada nusa dan bangsa, kepada tanah air yang kita cintai bersama
Ibuku
berlalu setelah melaksanakan sumbangsihnya sampai sudah lanjut umurnya. Berlalu
dengan mewariskan kemesraan dan kecintaan. Berlalu dengan meninggalkan pesan.
Kita akan meninggalkan tempat ini mungkin dengan tambahan tekad untuk menghargai ibu-ibu yang masih dan yang akan melaksanakan panggilan hidupnya. Mudah-mudahan hal ini merupakan sumbangsih yang kecil dari keluarga kami untuk kekuatan, persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, yang sama-sama kita tegakkan dan sama-sama kita cintai.
Kita akan meninggalkan tempat ini mungkin dengan tambahan tekad untuk menghargai ibu-ibu yang masih dan yang akan melaksanakan panggilan hidupnya. Mudah-mudahan hal ini merupakan sumbangsih yang kecil dari keluarga kami untuk kekuatan, persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, yang sama-sama kita tegakkan dan sama-sama kita cintai.
Kami
banggakan kesederhanaan Ibu, yang tetap berhasil menciptakan tazim kami dengan
cara beliau sendiri, sehingga dengan keyakinan kami masing-masing yang beliau
selalu hormati, kami mempunyai keleluasaan untuk berbakti. Inilah kekuatan dan
kekayaan yang kiranya subur di tanah air kita yang sama-sama kita bina dan
jaga.
Kesederhanaan
saya tonjolkan, karena pesan yang dapat diambil ialah: Dengan kesempatan dan
perlengkapan kita yang lebih banyak daripada yang dimiliki Ibu, maka diharapkan
dari kita semua peningkatan dari apa yang dicapai oleh beliau.” (R.A. Kartini)
Tentang Peranan
Wanita sebagai Pendidik
“Siapakah
yang akan menyangkal bahwa wanita memegang peranan penting dalam hal pendidikan
moral pada masyarakat. Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya. Ia dapat
menyumbang banyak (atau boleh dikatakan terbanyak) untuk meninggikan taraf
moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas itu padanya.
Sebagai
seorang ibu, wanita merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam
pangkuannyalah seorang anak pertama-tama belajar merasa, berpikir dan
berbicara, dan dalam banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai arti yang
besar bagi seluruh hidup anak…”
“Tangan
ibulah yang dapat meletakkan dalam hati sanubari manusia unsur pertama kebaikan
atau kejahatan, yang nantinya akan sangat berarti dan berpengaruh pada
kehidupan selanjutnya. Tidak begitu saja dikatakan bahwa kebaikan ataupun
kejahatan itu diminum bersama susu ibu. Dan bagaimanakah ibu Jawa dapat
mendidik anak kalau ia sendiri tidak berpendidikan?”
“Hanya
sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat. Lingkungan keluarga (orang tua)
harus membantu juga. Malahan lebih-lebih dari lingkungan keluargalah yang
seharusnya datang kekuatan mendidik. Ingatlah! Keluarga (orang tua) dapat
memberikan pengaruhnya siang-malam, sedang sekolah hanya beberapa jam saja…”
“Binalah
mereka (putri2 bangsawan) menjadi ibu2 yang pandai, cakap dan sopan. Mereka akan
giat menyebarkan kebudayaan di kalangan rakyat. Sadar akan panggilan moral
dalam masyarakat mereka akan menjadi ibu2 yang penuh kasih sayang, pendidik
yang baik dan berguna bagi masyarakat yang memerlukan bantuan dalam segala
bidang.” (Berikanlah
Pendidikan Kepada Bangsa Jawa *baca: Indonesia - Nota R.A. Kartini tahun 1903
yang dipublikasikan melalui berbagai surat kabar.)
Tentang
Emansipasi
“Akan
datang juga kiranya keadaan baru dalam dunia bumiputra, kalau bukan oleh karena
kami, tentu oleh orang lain, kemerdekaan perempuan telah terbayang-bayang di
udara, sudah ditakdirkan…” (Surat R.A. Kartini kepada temannya Zeehandelaar, 9 Januari 1901)
“Bukan
hanya suara dari luar saja, suara yang datang dari Eropah yang beradab, yang
hidup kembali itu, yang datang masuk ke dalam hati saya, yang jadi sebab saya
ingin supaya keadaan yang sekarang ini berubah. Pada masa saya masih
kanak-kanak, ketika kata EMANSIPATIE belum ada bunyinya, belum ada artinya bagi
telinga saya, serta karangan dan kitab tentang pasal itu masih jauh dari
jangkauan saya, telah hidup dalam hati saya suatu keinginan akan bebas,
merdeka, berdiri sendiri. Keadaan sekeliling saya memilukan hati, menerbitkan
air mata karena sedih yang tidak terkatakan, keadaan itulah yang membangunkan
keinginan hati saya itu. Dan karena suara yang datang dari luar yang tiada
putus-putusnya sampai kepada saya, keras makin keras jua, maka bibit yang ada dalam
hati saya, yaitu perasaan yang merasakan duka nestapa orang lain yang amat saya
kasihi, tumbuhlah, sampai berurat berakar, hidup subur serta dengan
rindangnya.” (s.d.a, 25 Mei 1899)
Tentang
pergolakan batin dan semangat
“Siapa
yang melihat atau menduga dahsyatnya pergolakan yang menggelora dalam batin
gadis remaja ini? Tidak ada seorangpun yang dapat menduganya. Ia menderita
seorang diri. Tidak ada orang tua atau saudara yang menduga apa yang bergolak
dalam hatinya, dan memberi simpatinya kepadanya. Dimanakah ia akan dapat
meletakkan kepalanya yang capek ini dan melepaskan tangis kesedihannya?”
“Memang
suatu pekerjaan yang seolah-olah tak mungkin dapat dikerjakan! Tetapi siapa
tidak berani, takkan menang! Itulah semboyanku. Maka ayo maju! Bertekad saja
untuk mencoba semua! Siapa nekad, mendapat tiga perempat dari dunia!”
Tentang para
pelopor zaman
“Pada
jaman manapun dan dalam bidang apapun, kaum pelopor selalu mengalami
rintangan-rintangan hebat. Itu kami sudah tahu. Tetapi betapa nikmatnya
memiliki suatu cita-cita. Suatu panggilan. Katakanlah kami ini orang-orang
gila… Atau apa saja… Tetapi kami tidak dapat berbuat lain. Kami tidak berhak
untuk tinggal bodoh, bagaikan orang-orang yang tidak berarti. Keningratan membawa
kewajiban.” (Kartini, awal 1900)
Tentang
Cita-cita Menjadi Guru
“Karena
saya yakin sedalam-dalamnya bahwa wanita dapat memberi pengaruh besar kepada
masyarakat, maka tidak ada yang lebih saya inginkan daripada menjadi guru,
supaya kelak dapat mendidik gadis-gadis dari para pejabat tinggi kita. O, saya
ingin sekali menuntun anak-anak itu, membentuk watak mereka, mengembangkan
pikiran mereka yang muda, membina mereka menjadi wanita-wanita masa depan,
supaya mereka kelak dapat meneruskan segala yang baik itu. Masyarakat kita
pasti bahagia kalau wanita-wanitanya mendapat pendidikan yang baik… Di dunia
wanita kita terdapat banyak derita yang pedih. Penderitaan yang telah saya
saksikan waktu saya masih kanak-kanak itulah yang membangkitkan keinginan saya
membawa arus yang tidak mau membenarkan saja keadaan-keadaan yang kolot.” (Kartini, 1901)
“Kami
sekali-kali tidak ingin membuat murid-murid kami menjadi orang-orang setengah
Eropah atau orang Jawa-Eropah. Dengan pendidikan bebas kami bermaksud
pertama-tama membuat orang Jawa menjadi orang Jawa sejati, yang menyala-nyala
dengan cinta dan semangat terhadap nusa bangsanya, terbuka dengan mata dan hati
terhadap keindahan serta kebutuhannya. Kami hendak memberikan kepada mereka
segala yang baik dari kebudayaan Eropah, bukan untuk mendesak atau mengganti
keindahan mereka sendiri, melainkan untuk menyempurnakannya.”
Tentang Ningrat
dan Kebangsawanan
“Sebelum
kau menanyakan, aku tidak pernah memikirkan bahwa aku, seperti katamu, adalah
keturunan ningrat tinggi. Apakah aku seorang putri raja? Bukan. Raja terakhir
yang menurunkan kami, mungkin sudah 25 turunan yang lalu. Ibuku masih
berhubungan dekat dengan raja-raja Madura. Buyut beliau masih memerintah
sebagai raja dan neneknya adalah puteri yang berhak menggantikan raja. Bagiku
hanya ada dua jenis kebangsawanan: kebangsawanan jiwa (akal) dan kebangsawanan
budi (perasaan). Menurut perasaanku tidak ada yang lebih gila dan menggelikan
daripada orang-orang yang membanggakan keturunannya. apakah sebenarnya jasanya
dilahirkan sebagai seorang bangsawan? Dengan otakku yang kecil ini aku tidak
dapat menangkapnya…”
“Apa
gunanya kaum ningrat yang dijunjung tinggi itu bagi rakyat, kalau mereka
dipergunakan oleh Pemerintah untuk memerintah rakyat? Sampai sekarang tidak
ada, atau sangat sedikit, yang menguntungkan bagi rakyat. Lebih banyak
merugikan - kalau kaum ningrat menyalahgunakan kekuasaannya. Ini tidak jarang
terjadi. Keadaan demikian itu harus berubah. Kaum ningrat harus pantas untuk
bisa dijadikan pujaan rakyat; sehingga akan banyak mafaatnya untuk rakyat.
Pemerintah harus membawa kaum ningrat ke arah itu. Dan satu-satunya jalan ialah
memberi PENDIDIKAN yang mantap, yang tidak semata-mata didasarkan pada
pengembangan intelektuil, melainkan terutama pada pembinaan watak… Banyak
sekali contoh yang membuktikan bahwa tingkat kecerdasan otak yang tinggi sama
sekali bukan jaminan akan adanya keagungan moral.”
Tentang Kepedulian Kartini pada rakyatnya
“Tak
setetes pun hujan turun dalam tiga minggu ini. Panasnya luar biasa terik. Kami
tak pernah mengalami sepanas ini. Bahkan tidak pada musim kemarau yang
terkering pun.
Ayah sampai putus asa. Bibit pada di sawah telah menyoklat. O, kasihan! Kasihan rakyatku! Selama ini rakyat di daerah kami selalu kecukupan pangan sehingga mereka tidak pernah mengenal adanya bencana kelaparan. Akan tetapi apa yang belum terjadi bisa saja terjadi. Seperti pada kekeringan di musim hujan ini yang sudah merupakan pertanda buruk. Apa yang akan terjadi kalau kekeringan dan panas yang terik ini berlangsung terus? Sejak beberapa hari ini tiap pagi betiup angin yang biasanya baru datang di bulan Mei. Pancaroba-kah ini? Atau musim kemarau telah bermula?
Ayah sampai putus asa. Bibit pada di sawah telah menyoklat. O, kasihan! Kasihan rakyatku! Selama ini rakyat di daerah kami selalu kecukupan pangan sehingga mereka tidak pernah mengenal adanya bencana kelaparan. Akan tetapi apa yang belum terjadi bisa saja terjadi. Seperti pada kekeringan di musim hujan ini yang sudah merupakan pertanda buruk. Apa yang akan terjadi kalau kekeringan dan panas yang terik ini berlangsung terus? Sejak beberapa hari ini tiap pagi betiup angin yang biasanya baru datang di bulan Mei. Pancaroba-kah ini? Atau musim kemarau telah bermula?
Ngeri!
Kami semua tak berdaya. Betapa sedihnya melihat bibit yang ditanam menyoklat
dan layu. Dan kami tak dapat berbuat apa-apa. Manusia tak bisa membuat air.
Kirimkan pada kami dingin dari negerimu. Nyonya boleh mengambil panas dari sini seberapa Nyonya mau.” (Surat Kartini kepada Nyonya Nellie van Kool)
Kirimkan pada kami dingin dari negerimu. Nyonya boleh mengambil panas dari sini seberapa Nyonya mau.” (Surat Kartini kepada Nyonya Nellie van Kool)
“Karena
musim panas yang berkepanjangan ini, hampir seluruh panen gagal di daerah ini.
Daerah sekitar Grobogan paling menderita di mana bencana kelaparan mulai
merajalela. Di Demak, di mana 26 ribu bahu sawah gagal dipanen, serangan kolera
telah pula mengganas. Sementara orang-orang dengan cemas menunggu datangnya
musim hujan yang akan membanjiri daerah ini. Sungguh tanah yang malang! Pada
musim kemarau ia gersang dan pada musim hujan ia kebanjiran.” (Surat Kartini
kepada Stella)
Tentang
Kebanggaan Kartini atas kerajinan dan kesenian rakyatnya
“Hura!
Untuk kesenian dan kerajinan rakyat kami! Hari depannya sudah pasti akan
cemerlang. Aku sulit untuk mengatakan betapa girang, terima kasih dan
beruntungnya kami di sini.
Kami
sangat bangga atas rakyat kami. Mereka yang kurang dikenal dan karena itu juga
kurang dihargai. Hari depan kaum seniman Jepara sekarang sudah terjamin. Tuan
Zimmerman tak habis-habisnya memuji hasil karya para seniman rakyat berkulit
coklat yang sering dihina ini. Para pengrajin kami di sini baru saja mendapat
pesanan besar dari Oost en West untuk perayaan hari Sinterklaas.
Kami
menikmati anugerah ini. Kini seniman-seniman yang cakap itu dapat menuangkan
gagasan-gagasan mereka yang indah. Gagasan yang puitis pun dapat terjelma dalam
bentuk-bentuk yang indah, garis-garis yang ramping, mengombak dan melenggok
dalam warna-warna cemerlang.” (Surat Kartini kepada E.C. Abendanon, anak dari Mr. J.H. Abendanon)
Tentang
kecintaan Kartini menjadi bagian dari rakyatnya
“Untuk
pertama kali namaku disebut di muka umum bersama rakyatku. Di situlah tempat
namaku seterusnya. Aku bangga Stella, bahwa namaku disebut senafas dengan
rakyatku!”
Tentang
kesadarannya akan adanya Tuhan
“…
Banyak sekali kejadian pada waktu akhir2 ini menunjukkan bahwa manusia hanya
menimbang2. Tuhanlah yang akhirnya menetapkan. Semua itu merupakan peringatan
kepada kita semua yang berpandangan picik supaya kita jangan sombong: jangan
mengira bahwa kita mempunyai ‘kemauan sendiri’. ada suatu Kekuasaan yang lebih
tinggi dan lebih besar daripada semua kekuasaan di dunia. Ada Kemauan yang
lebih kuat dan lebih kuasa daipada semua kemauan manusia dijadikan satu.
Celakalah orang yang membusungkan dadanya dan mengira bahwa kemauannya adalah
sekuat baja! Hanya ada satu kemauan yang boleh dan harus kita miliki, yaitu
kemauan untuk mengabdi kepada Kebaikan!… Sekarang kami memegang erat tangan
Dia. Dia-lah yang mengarahkan kami, menilai dengan penuh kasih sayang… Di situ
GELAP MENJADI TERANG, taufan menjadi angin tenang. Sebetulnya semua di sekitar
kami masih sama saja, tetapi bagi kami telah tidak sama lagi. Telah terjadi
perubahan dai dalam kami yang menyinari segala2nya dengan cahaya-Nya. Kami
merasa tenang dan damai dalam jiwa kami… Kami selalu memohon agar diberi
kekuatan untuk memikul baik duka maupun suka. Terutama dalam suka, sebab dalam
bersuka ria terdapat godaan… Kami tak dapat mengatakan betapa besar terima
kasih kami bahwa kami telah berkenalan dengan Nyonya van Kol…”
“…
Tahukah kau siapa yang membuka tabir di muka mata kami? Ialah: Nellie van Kol.
Tetapi yang sekarg menuntun kami untuk menemukan Tuhan ialah Ibu. Sungguh bodoh
kami ini. Sepanjang hidup kami memiliki mutiara segunung di samping kami,
tetapi kami tidak melihatnya, tidak mengetahuinya. Sungguh, betul2 bodoh dan
sok tahu kami ini. Dan kau sekarang tak dapat membayangkan betapa bahagia Ibu
dan para sesepuh lainnya, melihat perubahaan hidup kejiwaan kami. Tak satu kata
celaan keluar dari mulut mereka. Hanya: ‘Tuhan baru sekarang berkenan membuka
hati kalian. Bersyukurlah!’”. (Surat Kartini
kepada anak Abendanon)
Tentang
Angan-angan Kartini
“…
Semoga melalui banyak sekali penderitaan dan kesedihan, kami berhasil
menciptakan sesuatu. Bagi rakyat kami. Terutama yang bermanfaat bagi kaum
wanita kami - bagaimanapun kecilnya. Andaikata ini pun tidak terlaksana, semoga
penderitaan dan perjuangan kami berhasil menarik perhatian khalayak ramai terhadap
keadaan-keadaan yang perlu diperbaiki. Dan andaikata itu pun tidak dapat kami
capai, wahai, setidaknya kami telah berusaha berbuat baik, dan kami yakin benar
bahwa air mata kami, yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu, akan ikut
menumbuhkan benih yang kelak akan mekar menjadi bunga-bunga yang akan
menyehatkan generasi-generasi mendatang.”
2 komentar:
artikel ini bermanfaat untuk diketahui oelh orang lain, jadi mohon maaf admin, link ini saya cantumkan dalam tulisan saya.
Good share. Siap menjadi penerus kartini dalam memajukan pendidikan
Posting Komentar