Yang tak kalah spektakuler adalah
gerakan sekelompok feminis Muslim yang merumuskan Counter Legal Draft (CLD)
terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) hasil produk Inpres No.1 tahun 1991. Bagi
mereka, KHI masih mengidap cara pandang dan filosofi patriakrhi. Karena itu,
perlu revisi agar selaras dengan semangat Islam yang menuntut keadilan dan
kesetaraan.
Perjuangan keadilan dan kesetaraan
gender di negeri ini telah berlangsung lama, sejak sebelum Indonesia merdeka
hingga era reformasi. Tokoh-tokoh dan isunya pun beragam. Jika dikategorisasi
secara periodik, gerakan feminisme Indonesia punya empat gelombang.
Pertama, dirintis oleh
individu-individu yang tak terlembaga dan terorganisasi secara sistemik. Mereka
bergerak sendiri-sendiri. Mungkin karena hambatan dan keterbatasan, perempuan
sekuler seperti RA Kartini, tak bersinergi dengan perempuan Muslim dalam
memperjuangkan hak-hak perempuan.
Periode ini berlangsung senjak akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tokoh-tokoh perempuan Muslim yang muncul pada
periode ini, antara lain Rohana Kuddus (Minangkabau), Rahmah el-Yunusiyah, dan
lain-lain. Mereka telah mendirikan pesantren khusus perempuan (ma'had li
al-banat). Di pesantren, remaja-remaja puteri diajari baca-tulis. Telah
disadari, belajar membaca dan menulis bukan hanya hak khusus kaum laki-laki.
Tokoh-tokoh perempuan saat itu bukan
hanya menuntut perbaikan pendidikan perempuan, tapi juga telah menggugat
praktek poligami, pernikahan dini, dan perceraian yang sewenang-wenang. Gerakan
individual yang baru dalam tahap rintisan ini tak bisa diharapkan punya
pengaruh signifikan. Perjuangan mereka seperti berteriak di tengah belantara
dunia patriakhi.
Kedua, institusionalisasi gerakan
dengan munculannya organisasi-organisasi perempuan seperti Persaudaraan Isteri,
Wanita Sejati, Persatuan Ibu, Puteri Indonesia, Aisyi'ah Muhammadiyah, dan
Muslimat NU. Ini berlangsung antara akhir 1920-an hingga akhir 1950-an. Isu
yang berkembang masih sama dengan sebelumnya, yaitu emansipasi perempuan di
pelbagai bidang, termasuk penolakan poligami, pembenahan pendidikan, dan
sebagainya.
Organisasi perempuan Muhammadiyah,
Aisyi'ah, cukup gencar menyuarakan pentingnya perempuan mengambil bagian di
ruang publik, karena mereka punya hak yang setara dengan laki-laki untuk
meningkatkan kualitas diri. Cukup mengagetkan, Muslimat NU—yang dikenal
tradisional—dalam sebuah konferensi di Surabaya (1930-an) mulai mendesak agar
perempuan dibolehkan memasuki lembaga-lembaga politik.
Desakan Muslimat NU ini dikukuhkan
konferensi besar Syuriah NU (1957) di Solo yang membolehkan perempuan menjadi
anggora parlemen. Pada periode ini, undang-undang keluarga pertama lahir: UU
No. 22 tahun 1946. Salah satu pasalnya menyebut bahwa perkawinan, perceraian,
dan rujuk harus dicatatkan. Penubuhan gagasan ke dalam sebuah undang-undang,
sungguh terobosan baru. Ketiga, emansipasi perempuan dalam pembangunan nasional
yang berlangsung sejak 1960-an hingga 1980-an. Dengan makin baiknya pendidikan
perempuan, sejumlah perempuan mulai terlibat dalam proses pembangunan yang
digalakkan Orde Baru. Perempuan bukan hanya diakui kemampuannya, tapi juga
diajak aktif dalam mengisi pembangunan.
Ada banyak tokoh perempuan Islam
yang lahir pada periode ini, misalnya Zakiah Drajat. Ormas keagamaan tradisonal
seperti NU memasukkan perempuan dalam komposisi Syuriah NU, seperti Nyai
Fatimah, Nyai Mahmudah Mawardi, Nyai Khoriyah Hasyim. Ini tak lazim dan tak ada
presedennya dalam sejarah NU.
Hanya saja, gerakan perempuan pada
periode ini belum maksimal. Perempuan cenderung tidak proaktif dalam
proses-proses tersebut. Ini mungkin karena jumlah yang terlibat masih terbatas.
Namun yang perlu dicatat, pada periode ini telah lahir Undang-Undang No. 1
tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan.
Di dalam Undang-Undang ini, poligami
makin dibatasi. Laki-laki tak bisa mempraktekkan poligami tanpa mendapat ijin
isteri. Pengetatan poligami ini sempat mengundang polemik tajam dalam tubuh
umat Islam. Keempat, diversifikasi gerakan hingga ke level terbawah seperti
pesantren. Ini berlangsung antara 1990-an hingga sekarang. Pada era ini terjadi
sinergi antara feminis sekular dan feminis Islam. Feminis sekular seperti
Saparinah Sadli, Wardah Hafidz, Nursyahbani Katjasungkana, Yanti Mukhtar dan
Gadis Arivia, yang punya hambatan teologis dalam gerakan, mendapat injeksi
moral- keagamaan dari para feminis Muslim.
Begitu juga sebaliknya; para feminis
Muslim mendapat pengayaan wacana dari tokoh-tokoh feminis sekuler. Mereka
berjejaring dan bersinergi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Muara yang
hendak dituju sama, yaitu penguatan civil society, demokratisasi, dan penegakan
HAM, termasuk keadilan dan kesetaraan gender.
Prestasi yang perlu dicatat pada
periode ini adalah lahirnya UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga. UU ini menegaskan bahwa kekerasan bukan hanya fisik, tapi
juga psikis, seksual, atau penelantaran (Bab III pasal 5).
Yang tak kalah spektakuler adalah
gerakan sekelompok feminis Muslim yang merumuskan Counter Legal Draft (CLD)
terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) hasil produk Inpres No.1 tahun 1991. Bagi
mereka, KHI masih mengidap cara pandang dan filosofi patriakrhi. Karena itu,
perlu revisi agar selaras dengan semangat Islam yang menuntut keadilan dan kesetaraan.
Para feminis Muslim yang fenomenal
dalam gelombang ini, antara lain Sinta Nuriyah Wahid, Lies Marcoes-Natsir,
Farha Cicik, Siti Musdah Mulia, Maria Ulfa Anshar, dan Ruhainy Dzuhayatin.
Yang menarik, tak seperti periode
sebelumnya, gelombang terakhir ini tak lagi diurus kaum perempuan per se, tapi
juga disokong secara moral-intelektual oleh feminis laki-laki, seperti (alm.)
Mansoer Fakih, Nasaruddin Umar, Budhy Munawar-Rachman, dan KH Husein Muhammad.
Kehadiran mereka ikut menambah amunisi bagi kokohnya gerakan perempuan di
Indonesia.
Kiai Husein yang datang dari
lingkungan pesantren, sebuah institusi yang selama ini dianggap sebagai lumbung
konservasi teologi patriakhi, menulis sejumlah buku penguatan dan advokasi perempuan
dari perspektif fikih.
Kini generasi di bawah mereka sudah
siap menyangga dengan perlengkapan intelektual yang mumpuni dan integritas
diakui, seperti Faqihuddin Abdul Kodir, Marzuki Wahid, Syafiq Hasyim, Badriyah
Fayumi, Masruchah, dan lain-lain. Tokoh-tokoh muda yang rata-rata lahir tahun
1970-an ini punya dedikasi tinggi bagi tegaknya keadilan dan punahnya
diskriminasi di negeri ini.
Sumber : http://islamlib.com/?site=1&aid=551&cat=content&title=kolom
0 komentar:
Posting Komentar